Tua
- ayurinputri
- Dec 20, 2014
- 1 min read

"Datuk, sudahlah, kitab Saravana ini sudah tak bisa lagi engkau gunakan untuk mengatur zaman yang mengenal komputer."
"Siapa engkau hingga berani berani nya menitahkanku untuk merubah kebijaksaan bagi Swarnadwipa ini!"
Kemas mundur beberapa langkah, memastikan bahwa ia nanti bisa terhindar jika nanti tiba-tiba Datuk Tetuo mengeluarkan keris dan hendak membunuhnya.
"Terserah engkau. Aku hanya berniat baik untuk berbicara padamu."
Laki-laki tua itu lalu memandang jauh ke Timur. Air mata nya pun mengalir di sela-sela wajah yang kian keriput.
"Apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi tua dan tak dihormati? Aku telah bersemedi dan memutuskan bahwa Saravana adalah kebijaksanaan terbaik bagi Swarnadwipa yang hangat. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa bayi-bayi yang aku banggakan kini menjadi penentang yang nyata."
"Engkau telah tua dan tidak paham apa itu pertentangan."
"Tahu apa kau tentang hidup." sinisnya.
"Datuk, tidak ada yang mementangmu, tidak ada yang menjauhimu. Engkau hanya ketakutan oleh mereka yang berani berkata lain tentang Saravana. Karena kau tidak pernah benar-benar yakin dengan kitab itu, ya bukan? Tidakkah engkau ingat saat purnama ke 1008, engkau dongengkan pada kami bahwa suatu saat Swarnadwipa akan menjadi pusat peradaban dan Saravana akan menjadi luarbiasa tirakatnya. Engkau membangkitkan mimpi kami, datuk. Tapi kini, engkau menelan ludahmu sendiri."
"Kalian tak paham maksudku!"
"Setiap peradaban punya masanya begitu juga setiap kitab punya waktunya. Tenanglah, tak ada yang meninggalkanmu. Tapi engkau sendirilah yang meninggalkan mereka. Tak sadarkah bahwa engkau kian menua dan ketakutan?"
Comments