top of page

Ramalan dan Arus Balik

  • ayurinputri
  • Jun 3, 2017
  • 3 min read

Joy Lobo dalam film 3 Idiots (2009)

Give me some sunshine

Give me some rain

Give me another chance

And I wanna grow up once again.

(3 Idiots Soundtrack, 2009)


Masih ingatkah kita tentang Joy Lobo? Seorang teman dari Ranchodas Shamaldas Chanchad alias Punsukh Wangdu dalam film 3 Idiots. Berangkat dari kota pedalamanan di India, keluarga terhormat, wajah yang tampan, otak cerdas, dan semangat baik, ternyata belumlah mampu membuatnya menjadi sarjana teknik pertama di kampungnya. Sebuah mahakarya yang membuat seantero kampusnya terkesima, justru menjadi pintu maut bagi dirinya. Dr Viru Sahastrabuddhe (Mr. Virus), sang rektor kampus, menganggap mahakarya tersebut sebagai 'sampah' hingga kemudian menelfon ayah Lobo sembari mengatakan bahwa Lobo tidak akan bisa lulus di tahun tersebut. Lobo lalu stress, membuang mahakarya-nya ke dalam tong sampah, dan memilih gantung diri esoknya. Mahakarya tersebut kemudian kita kenal dengan nama 'Drone'.


Tentu, Lobo adalah tokoh fiktif dan penemu drone sebenarnya adalah Reginald Denny. Hanya saja karena tokoh Lobo lah yang mengenalkan saya pada benda itu, saya selalu mengidentikkan drone dengan Lobo. Pada dunianya, drone yang digagasi oleh Lobo merupakan bagian dari kelompok Unmmanned Aerial Vehicles/UAV atau pesawat tak berawak. Sebuah wahana terbang yang mulai dikenalkan pada awal abad ke-20, hadir bertujuan untuk membantu pihak militer dalam melakukan pengintaian. Hingga pertengahan tahun 2012, pasar drone masih cukup kecil, yang secara umum masih terbatas pada dunia militer/keamanan dan pemetaan.



Berbicara tentang drone, saya teringat ramalan empat tahun yang lalu. Dalam sebuah kelas yang penuh dengan kantuk, seorang wanita tua sedang mengajar mata kuliah Remote Sensing. Remote Sensing (Penginderaan Jauh) adalah sebuah ilmu khusus yang mendalami sistem dan mekanisme pengambilan rupa sebuah objek dari jarak jauh. Sebuah ilmu induk semangnya drone, ringkasnya. Wanita tersebut berambutnya keriting dengan potongan pendek ala tahun 80-an, bertubuh ideal dan mata yang tak berkacamata. Namun siapa tahu, dibalik penampilannya, ia adalah satu dari sedikit ahli Remote Sensing di Indonesia.


Di hari tersebut, ia membuat semua ramalan:

"Drone akan segera ditinggalkan. Cepat atau lambat, 'benda-benda kecil' itu akan dikalahkan oleh semakin-tingginya kemampuan satelit. Di pihak militer maupun pemetaan sipil. Pasarnya akan punah, jika mereka tidak menemukan celah lain tentunya."


Dalam sebuah kantuk yang dalam, saya mengamini ramalannya. Dunia satelit dan antariksa tentu akan menjadi pusat perkembangan di beberapa tahun kedepan. Perkembangan luar biasa tersebut tidaklah lagi menjadi sesuatu yang jauh, jika kita mengingat bahwa kini mulai banyak orang-orang seperti Elon Musk. Tahun itu pun adalah tahun 2013, dimana penggunaan drone masih hanya dalam dunia fotogrametri, dunia yang menggunakan foto untuk pembuatan peta. Dunia fotogrametri adalah dunia yang cukup kaku. Sebuah foto yang miring, bersifat cembung/cekung, dan berbagai hal yang dianggap 'seni' dalam fotografi, adalah sebuah bentuk kesalahan baginya. Berbanding terbalik dengan dunia fotografi, bagi fotogrametri, sebuah foto yang ortho (tegak lurus), tanpa sedikit-pun blur, dan bernilai matematis yang benar, adalah sebuah sebuah karya agung. Dan dalam nilai-nilai kesempurnaan itu, drone akan selalu kalah. Keredupannya pun semakin menjadi-jadi sejak mulai dikenalnya situs-situs penyedia foto satelit gratis seperti Google Earth dan Bing Maps.


Namun siapa yang akan menyangka, pada akhir 2014, saat dimana milenial semakin tergila-gila pada eksistensinya di dunia maya, benda yang hampir dicampakkan tersebut, menemukan kekasih barunya: fotografi-YouTube-dan-narsisme.


Nilai-nilai kesempurnaan yang sebelumnya adalah tuntutan baginya, mulai terabaikan. Drone kemudian masuk ke dunia yang menerima kekurangannya, bahkan menganggap kekurangannya sebagai sebuah karya seni, sesuatu yang indah. Ia digilai dengan sebenar-benarnya gila, bahkan sebuah perusahaan analisis berbasis di New York, The NPD Group, menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan drone pada tahun 2015 mencapai 445% disbanding 2014. Sebuah angka yang fantastis, bukan?


Terkenalnya drone kini (hingga di kalangan cabe-cabean), memberikan banyak dampak sosial yang luar biasa, bahkan ia mulai dilirik lagi oleh dunia yang hampir melupakannya, fotogrametri. 'Drone-nya Lobo' kini tidak hanya digemari kembali sebagai alat untuk membuat peta foto, bahkan lebih-lebih sebagai alat dokumentasi proyek agar telihat lebih 'Wah'.


Saya kemudian teringat kembali pada Lobo, andai saja hatinya lebih kuat seperti drone-nya: yang saat menghadapi masa kritis, ia justru membuat arus balik.


Ah dunia ... dunia.

 
 
 

Комментарии


Recent Posts
Archive

When you write what you want to write, you became a human | AyurinPutri© 2017

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Pinterest Icon
  • Grey YouTube Icon
  • Grey Instagram Icon
bottom of page